Sunday 29 October 2017

Silsilah KHR Abdullah bin Nuh dari Jalur Perempuan

KHR Abdullah bin Nuh ulama besar asal cianjur yang dimakamkan di Bogor, ternyata mempunyai garis keturunan Sultan Banten dari pihak perempuan berikut silisilahnya, Sultan Abdul Fatah (Ageng Tirtayasa/Banten) mempunyai anak : 1. Pangeran Tubagus Wetan, 2 Pangeran Sake, 3 Pangeran Sageri, 4 Pangeran Purbaya mempunyai anak Ratu Kawung -> Ratu Dewi ->  Ratu Naqibah ->Abdul Halim -> Samroh ->Idris-> Nuh->Abdullah bin Nuh, berikut silsilahnya :

Monday 9 October 2017

Dajeuh Bogor Dina Abad 18

Catatan ini diambil dari sejarah/silsilah keluarga besar sumedang, banten, cikundul, diponegoro yang ada di bogor kira kira tahun 1893 dan disusun kembali tahun 1966













Wednesday 31 August 2016

Bogor Setelah Pajajaran Runtag

Dikutip dari tulisan Endang Suhendar Diponegoro
Setelah sekian lama hilang dari percaturan historis yang berarti kurang lebih selama satu abad sejak 1579, kota yang pernah berpenghuni 50.000 jiwa itu menggeliat kembali menunjukkan ciri-ciri kehidupan.
Reruntuhan kehidupannya mulai tumbuh kembali berkat ekspedisi yang berturut-turut dilakukan oleh Scipio pada tahun 1687, Adolf Winkler tahun 1690 dan Abraham van Riebeeck tahun 1703, 1704 dan 1709. Dalam memanfaatkan wilayah yang dikuasainya, VOC perlu mengenal suatu wilayah tersebut terlebih dahulu. Untuk meneliti wilayah dimaksud, dilakukan ekspedisi pada tahun 1687 yang dipimpin Sersan Scipio dibantu oleh Letnan Patinggi dan Letnan Tanujiwa, seorang Sunda terah Sumedang.
Dokumen tanggal 7 November 1701 menyebut Tanujiwa sebagai Kepala Kampung Baru dan kampung-kampung lain yang terletak di sebelah hulu Ciliwung, De Haan memulai daftar bupati-bupati Kampung Baru atau Buitenzorg dari tokoh Tanujiwa (1689-1705), walaupun secara resmi penggabungan distrik-distrik baru terjadi pada tahun 1745.
Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1681) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran.
Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).{3} Versi yang berbeda terdapat dalam Babad Bogor (1925) yang tidak mencantumkan Tanujiwa melainkan Mentengkara atau Mertakara (Kepala Kampung Baru ketiga, 1706-1718) sebagai “bupati pertama” Bogor.

ilustrasi pembukaan kapung baru



Lukisan Kampoeng Baroe Tahun 1770, Johannes Rach: Kisah penemuan bekas-bekas kerajaan oleh Scipio kemudian berlanjut dalam catatan Adolf Winkler (1690) dan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709) yang masing-masing membuat lebih banyak catatan penting tentang bekas-bekas Kerajaan Pajajaran. Sementara itu, temuan-temuan bekas Kerajaan Pajajaran dalam ekspedisi Scipio membuat Tanujiwa tertarik dan memutuskan untuk pindah serta menetap di Parung Angsana yang lalu dijadikannya Kampung Baru. Bersama pasukannya Tanujiwa kemudian juga mendirikan beberapa kampung lain, yaitu Parakan Panjang, Parung Kujang, Baranang Siang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Parung Banteng, dan Cimahpar. Pada 1912 F. De Haan dalam bukunya memulai daftar bupati Bogor (Kampung Baru) dengan Tanujiwa sebagai bupati pertama (1689-1705).

NAMA "BOGOR dan BUITENZORG
Dokumen tertua yang mencantumkan nama Bogor barasal dari tanggal 7 April 1752. Dokumen tersebut tertulis nama Ngabei Raksacandra sebagai hoofd van de Negorij Bogor (kepala Kampung Bogor). Saat itu Kampung Bogor terletak di lokasi tanaman kaktus dalam Kebun Raya Bogor sekarang. Sedangkan pasar yang didirikan di dekat kampung dinamakan Pasar Bogor dan masih berdiri dengan nama dan lokasi yang sama hingga sekarang.
Lukisan Rumah Kediaman Baron Van Imhof 1744, cikal bakal Istana Bogor

Pada tahun 1745 mulai muncul Regentschap Kampung Baru atau Regentschap Buitenzorg yang merupakan gabungan 9 buah distrik, yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindang Barang, Balubur, Darmaga, dan Kampung Baru. Regentschap ini dikepalai oleh seorang Demang. Tentang nama Buitenzorg yang lalu menjadi nama lama wilayah Bogor, tentu ada kisahnya sendiri. Pada tahun 1744 Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mendirikan sebuah istana-villa di Cipanas. Di antara benteng Batavia dengan Cipanas dibangun pula sebuah rumah sederhana sebagai tempat peristirahatan dalam perjalanan. Rumah istirahat sederhana (di lokasi Istana Bogor sekarang) ini biasa disebut sans-souci, dari bahasa Perancis yang berarti tanpa kesibukan. Saat itu di Eropa Barat memang sedang trend paham romantisme yang menganjurkan agar manusia kembali ke alam. Sans souci padan dengan buitenzorg dalam bahasa Belanda dan karena itulah nama buitenzorg kemudian melekat pada rumah istirahat Van Imhoff.
Ketika Jakarta ditaklukkan oleh Yan Pieter Zoon Coen pada tahun 1619, daerah hulu atas dan sekitarnya, yang dahulunya dimusnahkan Sultan Maulana Hasanudin, ditemukan masih sangat liar dan tidak berpenghuni. Hanya bekas-bekas daerah yang pernah dihuni oleh Sultan masih dapat dijumpai sisa-sisanya di beberapa perkebunan penduduk Jacarta. Sebelum Jacarta ditaklukkan, Pangeran diturunkan dari tahta oleh Sultan Banten, sehingga Pangeran beserta keluarganya menyingkir ke pegunungan (tidak diceritakan sejarah kelanjutannya). Ketika Jacarta ditaklukkan, seluruh penduduk pribumi dibawa oleh Sultan Baten ke Bantam. Pada akhir abad 16 dan awal abad 17, daerah hulu atas Jakarta yaitu sepanjang tepi sungai Citarum mulai dihuni beberapa golongan penduduk. Di sebelah timur tepi sungai dihuni oleh keluarga suku Jawa, sedang di sebelah barat sungai dihuni oleh keluarga Sunda asal Preanger dan Bantam. Menurut catatan harian, tanggal 24 Agustus sampai 15 Oktober 1689 diceritakan kejadian pengejaran pendudukan yang dianggap pengacau dan telah menyebabkan terbunuhnya kaki tangan Kompeni Belanda yaitu Kapten Yonker yang berdarah Ambon.
Selanjutnya terjadi pengembangan perkampungan di sepanjang hulu atas Jakarta yang dihuni oleh orang-orang Sunda diantaranya :
. Tjitrap (Citeurep) dipimpin regent (Kepala Daerah) Aria Soeta.
. Bambo, tidak diketahui siapa yang menjadi Kepala Daerah.
. Tjilingsi (Cileungsi) dan Jimapack (Cimapak) dipimpin oleh 2 regent yaitu Kyai Mas Harya Wangsa dan Kyai Wangsa Koesoemo.
. Tjikias (Cikeas) dipimpin oleh regent Anggaber Wangsa dan lurah Angajaya.
. Tjikalong (Cikalong) dipimpin oleh Aria Nata Menggala.
Kedua daerah yang disebut terakhir yaitu Cikeas dan Cikalong akhirnya menjadi daerah Tjiandjoer (Cianjur). Daerah tersebut oleh kerajaan Mataram telah diserahkan kepada Kompeni Belanda pada tahun 1677. Pada mulanya para Kepala Daerah di atas tidak mengakui Pemerintahan Kompeni Belanda. Baru setelah ditandatangani perjanjian pada tahun 1705 antara Kompeni Belanda dengan Mataram, maka barulah mereka mengakui Kompeni Belanda dan menghadap ke Batavia . Pertengahan abad 17, Cianjur dihuni oleh Kyai Wira Tanoe dari Telaga, Cirebon , dengan penduduk kurang lebih 3000 orang. Keluarga regent Cianjur berpindah-pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Usaha pertama untuk menghuni kembali daerah hulu atas Jacarta adalah atas prakarsa Kompeni, yaitu Gubernur Jenderal Camphuis, dan dilaksanakan oleh Sultan Tanujiwa dengan sekelompok pekerja dari Sumedang. Mereka bergerak ke daerah ebkas Kerajaan Pajajaran yang masih luas. Letnan Tanujiwa dan pengikutnya membangun daerah baru dengan nama Kampung Baru, dengan Letnan Tanujiwa sebagai regent, yang diwajibkan melapor pada Kapten Winkier. Tahun 1690, Gubernur Jenderal Camphius meneluarkan perintah untuk membuat peta Kampung Baru.

1. Ki Mas Tanujiwa/Luknan/Letnan Candramanggala

Kampung Baru yang didirikan oleh Tanujiwa terletak di Cipingang (Jatinegara) dan di Bogor . Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana, sekarang tempat itu bernama Tanah Baru. Parung Angsana sebagai tempat kedudukannya sudah merupakan semacam “pusat pemerintahan” bagi kampung-kampung yang didirikan oleh Tanujiwa beserta pasukannya yaitu Parakan Panjang. Parung, Kujang, Panaragan, Bantarjati, Sempur, Baranang Siang, Parung Banten dan Cimahpar. Dokumen yang dikutip oleh Den Haan (1912) menyebut Tanujiwa beserta anak buahnya berada di Kampung Baru, Pajajaran dan daerah sebelah hulunya. Dengan demikian Tanujiwa telah ditunjuk sebagai pcmimpin koloni di sebelah Selatan Cikeas. Den Haan mengawali daftar bupati-bupati Bogor (Kampung Baru) dengan tokoh Tanu­jiwa ini (1689-1705), walaupun secara resmi peng­gabungan "distrik-distrik" Kabupaten Kampung Baru ter­jadi tahun 1745. Kedekatan batin Tanujiwa dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kompeni. la merasakan kepahitan bahwa seorang letnan pribumi tetap harus tunduk kepada seorang sersan hanya karena ser­san itu seorang 8elanda. Akhirnya Tanujiwa menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekua­saan VOC. Mereka kalah dan dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.

Asal Usul
KYAI TANUJIWA bersaudara adalah generasi ke 3 dari Raja Pajajaran terakhir yaitu PRABU SURYAKENCANA/RAGAMULYA, silsilahnya adalah : TANUJIWA bin SANTOWAN KADANG SERANG bin RADEN AJIMANTRI bin PRABU SURYAKENCANA. Kalau Pajajaran tetap berdiri, tidak mustahil dia sebagai nominator penerus tahta berikutnya.[6];
Dalam sebuah artikel / blog dari Trah Keturunan Sumedang Larang dinyatakan bahwa dalam silsilah keluarga besar keturunan Kerajaan Sumedang Larang tidak ditemukan sosok Tanujiwa, akan tetapi nama yang diawali "Tanu" memang ada dan popular pada masanya seperti : Tumenggung Tanumadja (1706 – 1709) dan Adipati Tanubaya (1773-1775). Dalam hal ini menguatkan analisa bahwa Kyai Tanujiwa bukan orang Sumedang melainkan orang Pakuan/Pajajaran yang diberi nama oleh orang tuanya mengikuti nama-nama yang popular di Sumedang pada jaman itu, akan tetapi dia pada dasarkan orang Pakuan-Pajajaran yang tinggal sementara di Sumedang;
Menurut catatan "Buk Sakawayana", Sunan Amangkurat I Sultan Mataram ke 4 (1646-1677) menikah dengan saudara sepupu Kyai Tanujiwa bersaudara yaitu Raden Apun Pananjung atau Ratu Kulon I, kalau melihat kekerabatan dan tahun kelahirannya tidak tertutup kemungkinan mereka diikut-sertakan sebagai prajurit Kesultanan Mataram dibawah pimpinan Adipati Ukur yang berangkat pada periode kedua Mei 1629. Kyai Tanujiwa dikalkulasi lahir pada tahun 1615, Kyai Singa Manggala dikalkulasi lahir pada 1612, dan kakak tertuanya Tanduran Sawita dikalkulasi lahir pada tahun 1610, jadi umur mereka pada saat Mataram menyerang Batavia ke 2 adalah Kyai Tanujiwa antara 13-16 tahun, Kyai Singa Manggala antara 17-20 tahun, dan Kyai Perlaya antara 19-22 tahun.

2. Luknan/Letnan Mentangkus,  asal Selacau

3. Luknan/Letnan Martawangsa, asal Selacau

4. R Aria Wiranata,  putra Dalem Aria Wiratanudatar Tarikolot
Beliau adalah anak dari Dalem Aria Wiratanudatar II atau terkenal dengan Dalem Tarikolot, Cianjur, pada masa pemerintah Dalem Aria Wiratanudatar II, terjadi beberapa kejadian besar di tatar sunda diantaranya :
- terjadinya perang saudara di Banten antara Sultan Abdul Fattah/Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya yang bergelar Sultan Haji
- terjadinya pemberontakan Haji Prawatasari/Raden Alit dari Jampang yang menyebabkan belanda banyak kerugian
- perjanjian baru antara Mataram dan Belanda VOC pada tanggal 5 oktober 1705, pulau jawa bagian barat, dipecah menjadi beberapa bagian, antara lain :
  1. Batavia
  2. Kampung Baru (Buitenzorg, Bogor sekarang)
  3. Cianjur
  4. Sukabumi
  5. Jampang
  6. Kabupaten Bandung, Sumedang, Karawang, Sukapura
  7. Daerah bekas Cirebon Galuh dan Gebang

Setelah Pajajaran runtag di Pakuan/Bogor oleh Kesultanan Banten, di Bogor tidak ada bupati ataupun wakil pemerintahan dari Banten, seperti Batavia dimana pihak Banten mengangkat bupati/adipati  Tubages Angke, Pangeran Jayakerta/Jaketra. Bogor dibiarkan menjadi hutan belantara yang baru dibuka lagi sekitar tahun 1687 oleh Scipio, artinya walaupun pakuan telah diruntuhkan oleh Banten, tetapi Pakuan bukan-lah bawahan dari kesultanan Banten, mungkin hal ini karena penghormatan/rasa sungkan sultan Banten terhadap Prabu Siliwangi yang merupakan masih leluhur Banten juga. Setelah Mataram dikalahkan VOC/Belanda, bogor menjadi bawahan VOC/belanda, Cianjur yang letaknya paling dekat dengan Bogor, dan mempunyai pemerintahan (bupati ) dipercaya untuk membuka hutan yang dahulunya ibukota Pajajaran tersebut, dilihat dari gen bupati Cianjur juga merupakan masih keturunan Prabu Siliwangi juga sang maharaja tatar sunda. Karena yang menjadi Adipati/Bupati Bogor/Kampung Baru adalah anak Aria Wiratanudatar II, otomatis Bogor merupakan bawahan Cianjur saat itu.

5. R Tumenggung Panji
Beliau adalah putra dari  R Aria Wiranata, jadi R Tumenggung Panji ini adalah cucu Dalem Aria Wiratanudatar II, Cianjur. R Tumenggung Panji menjadi Bupati Bogor lamanya 5 tahun.

6. R Tumenggung Wiradiredja
Beliau adalah putra R Aria Wiranata, jadi R Tumenggung Wiradiredja adalah cucu Dalem Aria Wiratanudatar II Cianjur, pada masa pemerintahan beliau di wilayah Bogor sudah kedatangan/masuk anak/keturunan Sultan Banten Sultan Abdul Fatah/Sultan Ageng Tirtayasa, yang saat itu terjadi perang di tanah Banten, adapun anak anak Sultan Abdul Fatah ini adalah Pangeran Sake/Sholeh (makam Citeureup), Pangeran Sageri (makam Jatinegara Kaum). Pada masa berikutnya anak R Tumenggung Wiradiredja, yaitu RH Thohir pendiri mesjid empang,  merupakan dalem kampung baru yang dimakamkan di empang menikah dengan anak dari Pangeran Sageri bin Sultan Abdul Fath (Ageng Tirtayasa) yaitu Ratu Syarifah. Tumenggung Wiradireja dimakamkan di Sukaraja, faktor ini juga yang membuat ulama besar kelahiran Cianjur KHR Abdullah Bin Nuh dimakamkan di Sukaraja karena beliau juga masih keturunan Dalem Aria Wiratanudatar (Cikundul)

7. R Tumenggung Nataganara, putra Dalem Dicondre, asal Cianjur 26 tahun
8. R Aria Ranggagede di Bogor, asal Sukaraja, 9 tahun
9. R Aria Jayanegara/ Aria Banceuy, putra Dalem Muhidin 5 tahun
Beliau adalah ayahanda dari ulama besar Syekh Yusuf (Baing Yusuf/RH Yusuf) yang dimakamkan di kaum Purwakarta, Syekh Yusuf adalah guru dari ulama besar yang mendunia Syekh Nawawi Albantani, seorang penulis kitab kuning yang dimakamkan di jannatul Mala Mekah. R Aria Jayanegara adalah kakak dari Nyi R Hamsyiah yang merupakan istri dari Adipati Suryalaga II (Dalem Talun, Sumedang), yang juga pernah menjabat jadi bupati Bogor kemudian dipindahkan ke Karawang.
10. R Aria Suryalaga, Talun, Sumedang
Di Pasirkuda yang menuju Pancasan ada jalan "Aria Suryalaga", beliau adalah salah satu adipati/bupati Bogor, yang keturunannya banyak dimakamkan di belakang mesjid AlHuda, Gunung Batu/Pasir Kuda, Bogor
Raden Tumenggung Suryalaga II adalah putra ke 4 dari Dalem RAA. Suryalaga I, Bupati Sumedang ke 10 (1765-1773). Ketika masih anak-anak, namanya ialah Raden Ema dibesarkan bersama-sama Raden Jamoe saudara sepupunya, Dia putra bupati Sumedang ke 9 yang bernama Raden Adipati Surianagara (1761-1765). Pada saat ayahnya RAA. Surialaga I wafat pada tahun 1773, Raden Ema masih berusia 9 tahun,dan Raden Jamoe 11 tahun, kedua-duanya belum cukup dewasa untuk menjadi pengganti Ayahnya menjadi Bupati Sumedang. Baik Raden Jamu maupun Raden Ema harus menunggu dewasa untuk menjadi Bupati Sumedang, akhirnya selama 3 periode masa jabatan Bupati Sumedang dipimpin oleh Bupati Penyelang atas pilihan Belanda.
Pada masa itu ada kebiasaan bahwa yang diangkat sebagai pengganti bupati sesuatu daerah, haruslah keturunan langsung daripada bupati yang sebelumnya, artinya harus keturunan bupati setempat atau keluarga dekatnya. Tentu saja yang dianggap akan setia kepada “pemerintah agung”, yaitu Kompeni Belanda. Kalau calon yang berhak dianggap akan bersikap memusuhi Belanda, biasanya disingkirkan dengan berbagai cara.
Baru kalau dari antara keluarga bupati setempat tidak ada yang layak diangkat sebagai pengganti, dicarilah calon dari tempat lain yaitu yang sudah diketahui kecakapan dan kesetiaannya. Dalam hal ini agaknya Tumenggung Tanubaya dianggap memenuhi syarat itu.
Walaupun dengan perasaan kurang puas, namun keluarga menak Surnedang menerima pengangkatan itu karena memang calon Sumedang yang berhak sendiri masih belum sampai umur. Tetapi ketika dua tahun kemudian Tumenggung Tanubaya berhenti, ternyata yang diangkat bukanlah Jamu yang ketika itu sudah dewasa, melainkan Tumenggung Patrakusumah menantu Tumenggung Tanubaya. Tindakan pemerintah Belanda itu menimbulkan rasa tidak puas di kalangan keluarga menak Sumedang, tetapi juga menimbulkan kecuripan di pihak TumenggungTatrakusumah sendiri.
Suasananya sedemikain rupa, sehingga Jamu menganggap perlu untuk menghindar dari Sumedang. Plot ini telah menyebabkan seorang pengarang Sunda yang terkemuka, Memed Sastrahadiprawira (1897 – 1932) menulis sebuah roman berdasarkan riwayat hidup Jamu, berjudul Pangeran Kornel (1930) yang sudah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Muis (1948). Di dalam roman itu Memed menampilkan seorang tokoh (yang mungkin) fiktif, yaitu Demang Dongkol, yang dilukiskan sebagai penghasut yang makin rnengeruhkan hubungan antara Jamu dengan Tumenggung Patrakusumah, walaupun yang terakhir itu telah mengambil Jamu sebagai menantu.

Rd. Jamu menjadi Kepala Cutak, Rd. EMA menjadi Juru Tulis Di Cianjur
Jamu melarikan diri ke Malangbong, kemudian ke daerah Cianjur. Di Cianjur dia mendapat perlindungan dan kepercayaan dari Raden Aria Adipati Wiratanudatar VI yang ketika itu menjadi bupati (1776-1813). Bupati Wiratanudatar yang pernah mengenal ayah Jamu, bersimpati kepada anak muda itu. Diberinya pekerjaan di lingkungan kabupaten, dan ketika terbuka lowongan Kepala Cutak Cikalong Wetan, maka ditempatkannya di sana. Jamu pun dinikahkan dengan salah seorang kerabatnya.
Ketika Jamu duduk sebagai Kepala Cutak Cikalong Wetan itulah datang Ema Surialaga, adik sepupunya, yang juga merasa kurang aman hidup di tempat kelahirannya sendiri (Sumedang). Ema pun mendapat simpati bupati Wiratanudatar. Dia diangkat sebagai jurutulis kabupaten, kemudian ketika ada lowongar, diangkat sebagai mantri gudang kopi di Bogor, bahkan kemudian menjadi bupati Bogor, bupati Karawang dan bupati Sukapura. Ema mengundurkan diri dari jabatan terakhir itu atas permintaannya sendiri.

Rd. Ema Suryalaga di Bogor
Pada saat Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel menjadi Bupati Sumedang ke 14 (1791 – 1828), Raden Ema Suryalaga ditunjuk sebagai Mantri Gudang Kopi di Bogor antara tahun 1784-1789(perkebunan Kopi di Bogor terkenal kualitasnya terbaik, berada di daerah Cibalagung, Ciomas). Dalam posisinya sebagai Mantri Gudang Kopi, juga sebagai ningrat keturunan Sumedang Larang, karena usianya sudah cukup matang kedua orang tuanya menikahkan Raden Ema dengan Nyi Raden Hamsyah putri ke 14 dari Dalem Aria Wiratanudatar V / Kyai Muhidin, Bupati Cianjur (), dan menetap di Cibalagung-Bogor.
Belanda memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Buitenzorg pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1810). Dengan sendirinya Buitenzorg disamping dikepalai oleh seorang Bupati juga terdapat Residen, Jaksa dan Gubernur Jenderal. Bupati yang menjabat di Buitenzorg tentunya harus memiliki Qualifikasi yang lebih dibanding daerah lainnya, oleh karena itu mengingat kecakapan dan pengalaman yang dimiliki RTA Suryalaga II cukup menonjol, juga karena sudah menguasai daerah Bogor / Buitenzorg, sekitar tahun 1801 ditunjuk menjadi Bupati Buitenzorg selama lebih kurang 10 tahun (1801-1811).

RTA. Suryalaga II menjadi Bupati Penyelang di Karawang dan Bupati Indramayu(1811-1813)
Pada tahun 1811 Belanda kalah perang dengan Inggris, sehingga wilayah jajahan Belanda beralih kepada Inggris. Begitupun di Jawa, pergantian penguasa penjajah mengakibatkan banyak kebuntuan pada pemerintahan daerah termasuk Karawang. Pada masa gubernur jenderal Thomas Stamford Raffles banyak Bupati yang diganti dan dirotasi, termasuk Karawang.
Pada tahun 1811 Bupati Karawang dijabat oleh Raden Aria Sastradipura sebagai Bupati ke 6, oleh penguasa baru pada tahun 1811 digantikan oleh Raden Adipati Suryalaga II selama 2 tahun (1811-1813).
Dalam waktu yang hampir berbarengan, di Cirebon tepatnya di daerah Tomo (Kadipaten) terjadi kerusuhan yang akhirnya kerusuhan tersebut dapat dipadamkan atas dukungan RT. Suryalaga II yang akhirnya mendapatkan gelar Adipati dan kemudian dipindahkan ke Dermajoe (Indramayu).

RTA. Suryalaga II menjadi Bupati Penyelang di Sukapura (1813-1814)
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles berdasarkan usulan Residen Bogor J.Mc.Quid jeung van Lawick van Pabst di Buitenzorg 31 Desember 1812 :
Bupati Karawang ditunjuk jadi Bupati Sukapura;
Tumenggung Parakanmuncang jadi Bupati Limbangan.
Selanjutnya Raffles mengeluarkan keputusan 16 Pebruari 1813 :
Kabupaten Sukapura didirikan kembali tanpa distrik Suci; Panembong; dan Malangbong. yang menjabat Bupati yaitu Rd. Tumenggung Surialaga II, dengan ibukota di Singaparna

Keturunan RTA. Surialaga II
Mengacu kepada beberapa sumber yang dipercaya (Sejarah Sumedang dari masa ke masa, dan Data dari pihak keluarga/ahli waris), diperkirakan RTA. Surialaga II, menikah dengan 2 orang istri dengan jangka waktu yang berjauhan. Istri yang pertama bernama Nyi Raden Hamsyah (putra no 14 Dalem Aria Wiratanudatar V / Kyai Muhidin, Bupati Cianjur) yang dinikahinya pada saat beliau berusia Dewasa/Mapan antara tahun 1784-1789 dimana pada usia tersebut beliau sedang menjabat sebagai Mantri Gudang Kopi di Bogor, dari pernikahan pertama beliau dikaruniai 2 orang putra yaitu :
Rd. Rangga Tjandramanggala, sebagai Patih yang kemudian menjadi Bupati Bogor tahun (?). Keturunan Rd. Tjandramanggala kebanyakan di Bogor, khususnya di daerah Pasirkuda-Ciomas. Seperti halnya Ayahnya RTA. Soerialaga II dan dirinya yang pernah menjadi Bupati Bogor, putranya yang bernama RTA. Soeriamanggala/RTA. Soeriadimanggala juga pernah menjadi Bupati Bogor, kemudian banyak keturunan Rd Tjandramanggala yang menikah dengan Cucu dan Cicit Raden Mas Djonet Dipomenggolo putra ke 5 Pangeran Diponegoro. Diantara keturunan Rd. Tjandramanggala adalah : Mayjen Purn. Ishak Djuarsa (Ibunya keturunan Diponegoro generasi 4), R. Ratnakancana menikah dengan Pujangga Marah Roesli.
Rd. Hamzah
Pernikahan kedua diperkirakan berlangsung antara tahun 1814-1819 dalam usia 50-55 tahunan, ada kemungkinan isteri keduanya keturunan ningrat Sumedang.
bersambung.....




Monday 29 August 2016

Para Bupati Bogor setelah Pajajaran Runtag

(Dari catatan RH Misbah Bin Nuh, ditulis kembali oleh R Memed Sunardi, Jl Bondongan 46, Bogor, November 1966)

1. Luknan/Letnan Candramanggala/Ki Mas Tanujiwa,  asal Sukawayana
2. Luknan/Letnan Mentangkus,  asal Selacau
3. Luknan/Letnan Martawangsa, asal Selacau
4. R Aria Wiranata,  putra Dalem Aria Wiratanudatar Tarikolot Cianjur
5. R Tumenggung Panji, Putra R Aria Wiranata, Cianjur, 5 Tahun
6. R Tumenggung Wiradireja, Putra R Aria Wiranata, Cianjur, 9 Tahun
7. R Tumenggung Nataganara, putra Dalem Dicondre, asal Cianjur 26 tahun
8. R Aria Ranggagede di Bogor, asal Sukaraja, 9 tahun
9. R Aria jayanegara/ Aria Banceuy, putra Dalem Muhidin 5 tahun
10. R Aria Suryalaga, Talun, Sumedang
11. R Tumenggung Wiradireja, Sukaraja
12. R Aria Wiranata, putra RH M Tohir (pendiri mesjid empang bogor), asal Cianjur
13. R Aria Suriawinata/Dalem Solawat, putra Wiranata

14. R Aria Sutawijaya, Hoofd Demang merangkap Hoofd Jaksa
15. R Aria Mangkuwijaya, Hoofd Demang merangkap Hoofd Jaksa

16. R Tumenggung Suradimenggala, kepala Demang, asal Ciomas, tahun 1878

17. Zelfstanding Patih Tirta, terkenal patih Cikaret
18. Zelfstanding Patih R Aria Suradiningrat asal Ciomas tahun 1924
19. R Aria Suria Jayanegara, asal Sumedang-Garut, tahun 1926-1945
20. R Harjadparta, kepala kabupaten federal residen : R abas/R Ipik
21. R Abdulah, kepala kabupaten, residen R Wahyu
22. R Afandi Kartajumena, walikota Bogor residen R Murjani 1959
23 Let Kol Achmad Syam, walikota Bogor tahun 1965

bersambung ke sejarah bogor setelah pajajaran runtag

Wednesday 16 March 2016

Perkutut hewan kesayangangan Pangeran Diponegoro


Keunikan burung perkutut  adalah
1. Kotoran perkutut tidak bau, dan cepat kering
2. Ketika makan perkutut tidak rakus, sebagai gambaran makanan yang diisi dalam tempat pakan, tidak akan habis dalam waktu seminggu bahkan lebih
3. Bangkai perkutut tidak bau
4. Walaupun kepala perkutut luka parah sampai terlihat tulangnya perkutut tidak mati (patak warak)
5. Dalam satu ombyokan atau dalam jumlah banyak dalam satu kandang jarang ada yg bertengkar...esensi nya perkutut memiliki jiwa sosial yang tinggi
6. Mempunyai umur yang panjang, secara umum banyak sekali ditemukan umurnya sampai 40 tahun, bahkan ada juga sampai 100 tahun

MerahPutih Budaya - Burung perkutut yang hingga saat ini masih menjadi burung peliharaan sebagian masyarakat Jawa, ternyata merupakan salah satu hewan kesukaan Pangeran Diponegoro. Ihwal demikian diungkapkan oleh Peter Brian Ramsay Carey, sejarawan asal Inggris yang selama 40 tahun meneliti tentang Pangeran Diponegoro.

"Beliau suka hewan, terutama burung lagu yang bisa berkomunikasi. Selain perkutut, juga menyukai kakaktua. Bahkan, dalam pengasingannya ke Makassar, ia membawa burung-burung perkutut dan kakatua," ungkap Peter Carey, sejarawan yang menggemari Pangeran Diponegoro ini, di rumahnya Les Belles Maisons, Jalan Raya Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (15/3).

Secara filosofis, sebagian besar kepercayaan masyarakat Nusantara, bil-khusus Jawa, dekat dengan alam dan binatang merupakan cara yang paling efektif untuk menyatukan raga maupun jiwa terhadap Yang Mahakuasa.

Ihwal tersebut kemudian menjadikan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia ini menjadi penyuka binatang.

Peter menambahkan, selain burung perkutut dan kakatua, Pangeran Diponegoro ternyata juga menyukai kura-kura dan ikan mas yang ditaruh di sebuah kolam di Tegalrejo.

"Di Tegalrejo, ia memiliki kura-kura dan ikan mas yang ditaruh di sebuah kolam. Sebuah kolam yang dikelilingi dengan kursi meditasinya," tutur Peter. (ard)
www.indonesiana.merahputih.com/budaya/2016/03/16/pangeran-diponegoro-miliki-banyak-hewan-peliharaan/39299/



Thursday 25 February 2016

Perkutut berdasarkan tinjauan ilmiah



Tinjauan Umum
Burung Perkutut (Geopelia striata) atau biasa disebut dengan Merbuk adalah sejenis burung yang memiliki suara kicau yang indah dan ukuran tubuh yang kecil. Burung yang berasal dari familia Columbidae ini sering dipelihara dan merupakan salah satu jagoan burung lomba.
Burung Perkutut masih memiliki hubungan kerabat dekat dengan Puter, Tekukur, dan Merpati. Hibrida (persilangan) burung Tekukur dan Perkutut dikenal dalam dunia burung hias sebagai “sinom” (bahasa Jawa) dan memiliki pola suara yang memiliki ciri khas.
Habitat
Burung perkutut di jumpai di dataran rendah hingga ketinggian 900 m, menyukai di tepian hutan, ladang, sawah. Tersebar di pulau Sumatera dan pulau Jawa dan Bali.
Burung ini hidup secara berkelompok di daratan rendah atau tinggi dengan daerah rerumputan yang luas seperti sawah atau ladang dengan ketinggian sekitar 900 m dpl.
Ciri-ciri
Burung Perkutut Memiliki ukuran tubuh yang termasuk kecil dengan panjang tubuh sekitar 22 cm.Memiliki bentuk kepala yang kecil dan bulat yang berwarna abu-abu. Memiliki Paruh yang runcing dan panjang yang berwarna biru keabu-abuan. Memiliki bentuk mata yang bulat dengan iris berwarna abu-abu kebiru-biruan. Memiliki leher yang agak panjang dan ditumbuhi bulu yang halus. Bulu disekitar dada dan leher membentuk pola garis melintang berwarna hitam dan putih. Badan tertutupi bulu yang berwarna kecokelatan. Terdapat garis melintang pada bulu sayap yang berwarna cokelat tua. Memiliki bulu ekor yang agak panjang dengan warna cokelat. Setiap kaki burung perkutut terdiri dari 4 jari dimana 1 jari ada di belakang sedangkan 3 jari lainnya ada di depan. Jadi jumlah keseluruhan jari dari burung ini adalah 8 jari.
Sifat
Burung ini termasuk jinak sehingga manusia bisa mendekatinya dengan mudah. Namun jika burung merasa terancam maka burung ini akan terbang ke pohon yang tidak jauh dari tempat asalnya.
Burung perkutut memiliki banyak kerabat dekat seperti punai dan peragam yang bisa ditemukan di seluruh dunia. Namun untuk burung jenis perkutut penyebarannya hanya sebatas Australia hingga Semenanjung Malaya.
Karena jenis perkutut di Indonesia sangat banyak maka para para ahli burung hanya membedakan jenis perkutut menurut daerah asalanya seperti Perkutut Jawa, Perkutut Sumatera, Perkutut Nusa Tenggara, dan Perkutut Bali.
Untuk burung perkutut yang ada di pulau Jawa masih bisa dibedakan lagi menurut daerah asalnya misalnya Perkutut Mataram, Perkutut Tuban, Perkutut Madura, Perkutut Pajajaran, dan Perkutut Majapahit. Burung perkutut yang berasal dari jawa dikenal sebagai jenis burung yang memiliki suara kicau yang berkualitas.
Burung perkutut terbagi menjadi tujuh sub-jenis yang dibedakan melalui daerah asal dan memiliki ukuran tubuh yang hampir sama, namun memiliki variasi warna bulu yang tidak sama. Namun untuk orang awam biasanya hanya membedakan 2 jenis saja yaitu burung Perkutut Lokal dan perkutut Bangkok.
Sembilan sub-jenis dari burung perkutut adalah :
1. Geopelia Striata yaitu Perkutut belang asli yang terdiri dari burung perkutut lokal dan burung perkutut bangkok yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Sub-jenis burung perkutut ini berasal dari Jawa, Lombok, Bali dan Sumatera.
2. Geopelia Striata Maungeus, yaitu Perkutut belang atau biasa disebut dengan nama Perkutut Sumba. Sub-jenis burung perkutut ini berasal dari Sumba, Pulau Timor dan Sumbawa.
3. Geopelia Striata Audacis, yaitu Perkutut belang yang berasal dari Tanimbar dan Kepulauan Kei.
4. Geopelia Striata Papua, yaitu Perkutut belang yang berasal dari Papua Nugini dan Papua.
5. Geopelia Striata Placida, yaitu Perkutut belang yang berasal dari Australia Utara dan papua.
6. Geopelia Striata Tranquila, yaitu Perkutut belang yang berasal dari Australia Tengah.
7. Geopelia Striata Clelaudi, yaitu Perkutut belang yang berasal dari Australia Barat.
8. Perkutut Hawaii
Di Hawaii ternyata banyak terdapat burung perkutut yang hidup bebas berkeliaran di hutan dan bahkan di kota-kota dekat dengan penduduk, seperti burung gereja saja yang ada di kota-kota di Indonesia. Perkutut Hawaii ini disebut sebagai Zebra Dove dan aslinya berasal dari tanah Jawa juga yang dibawa oleh orang-orang Jawa yang pergi ke Hawaii.
9. Perkutut Bangkok
Dikenal di masyarakat kita kalau perkutut Bangkok bersuara besar dan ngebass. Sementara perkutut yang biasa ditangkap dari hutan disebut perkutut lokal bersuara kecil. Hal ini hanya salah kaprah saja, salah tetapi dianggap benar, karena perkutut Bangkok pun asalnya juga dari tanah Jawa yang sudah dikembangbiakkan dan diambil keturunannya yang bersuara besar dan banyak yang di ekspor ke Indonesia lagi. Dan saat ini hampir seluruh penghuni kandang ternak di Indonesia adalah keturunan dari perkutut yang didatangkan dari Bangkok. Trend terakhir 2008-2009 kembali perkutut dari Bangkok dan Thailand Selatan yang bersuara besar dan berujung panjang banyak didatangkan ke Indonesia sebagai indukan. Kerabat Dekat PerkututKerabat terdekat perkutut ada dua jenis yaitu bangsa Geopelia Humeralis atau perkutut raksasa karena memang ukuran badannya sangat besar hampir dua kali lipat dibanding ukuran badan perkutut biasa. Berasal dari Australia bagian Utara. Dikenal juga sebagai Barred Ground Dove dikalangan internasional.Kerabat berikutnya banyak dipelihara di Indonesia yaitu Geopelia Cuneata atau lebih dikenal dengan nama Diamond Dove. Ukuran tubuhnya hanya setengah dari ukuran tubuh perkutut biasa. Dan di Indonesia banyak dipakai sebagai induk asuh untuk meloloh piyik perkutut untuk mempercepat proses produksi piyik perkutut.
Semua jenis perkutut di atas umumnya disebut sebagai perkutut lokal, sedangkan yang dimaksud perkutut Bangkok (Thailand) adalah perkutut belang (G.S. Striata) yang juga berasal dari Indonesia tepatnya di Pulau Jawa. Dan sudah mulai diternakkan di Thailand sejak 50 tahun yang lalu. Secara fisik perkutut lokal dan bangkok hampir sama. Secara fisik hanya dapat dibedakan oleh orang yang sudah biasa melihatnya, yaitu dengan melihat matanya di mana mata perkutut lokal mempunyai lingkaran mata warna putih lebih besar daripada mata perkutut bangkok.
Cara yang paling mudah adalah dengan mendengarkan suaranya. Perkutut lokal mempunyai suara yang ringan dan datar serta tempo iramanya cepat, sedangkan suara perkutut bangkok lebih besar (nge-bass).
Perkutut lokal terutama yang merupakan tangkapan dari alam, makin hari makin berkurang peminatnya selain oleh karena mutu suaranya yang kurang baik juga disebabkan bakalan (anak/remaja) perkutut lokal untuk menjadi rajin manggung memerlukan waktu antara 2 hingga 4 tahun, sedangkan perkutut bangkok usia 7 bulan sudah bocor jika perawatan, makanan dan keturunannya cukup baik.
Makanan
Burung perkutut sangat membutuhkan makanan yang mampu memenuhi kebutuhan nutrisi, vitamin dan mineral untuk proses pertumbuhan, reproduksi dan menjaga kualitas suara kicauannya. Makanan alami burung perkutut adalah biji-bijian yang seperti jewawut, millet, gabah kecil dan lain-lain.
Burung perkutut sebaiknya mendapatkan pakan yang mengandung mineral tinggi karena biasanya burung ini dipelihara dalam sangkar yang kecil sehingga tidak akan mendapatkan tambahan mineral dari tanah.
Burung perkutut yang kekurangan mineral pertumbuhan tubuhnya tidak akan berjalan dengan lancar dan akan mengalami kesulitan dalam hal reproduksi.
Di alam bebas burung perkutut biasanya memakan kerikil atau batu kecil untuk membantu menjaga kesehatan saluran pencernaannya. Anda bisa mengakali hal ini dengan cara menaruh potongan-potongan batu bata seukuran genggaman tangan di dasar sangkarnya.
Sebelum anda menaruh potongan batu bata tersebut sebaiknya batu bata dicuci dengan air bersih terlebih dahulu lalu direbus dan disangrai untuk menghindari adanya kemungkinan bakteri yang masih menempel pada batu bata.
Burung perkutut memiliki nama latin Geopelia Striata yang secara harfiah berarti merpati lurik. Di dunia internasional lebih dikenal dengan nama Zebra Dove atau Barred Ground Dove karena warna bulunya bergaris-garis mirip kuda zebra. Sementara di Malaysia dan Singapore dikenal dengan nama burung Ketitir atau Merbok. Dan di Thailand dikenal dengan nama burung Jawa atau Nokkhao Chewa, karena memang berasal dari tanah Jawa. Dan burung perkutut ini termasuk dalam kelas burung bangsa Columbidae atau bangsa merpati-merpatian dimana di kelas ini termasuk didalamnya adalah burung merpati, puter, derkuku/tekukur dan sebangsanya.
Seperti yang kita ketahui bahwa ciri - ciri dari jenis burung merpati-merpatian adalah sbb:
- Hidup berpasangan dan bertelur dua.
- Mempunyai tembolok (pemakan biji-bijian).
- Mempunyai alat yang dapat menutup hidung, sehingga tidak perlu mengangkat kepalanya pada saat    minum.
- Burung jantan bertubuh dan bersuara lebih besar serta menyanyi / berbunyi (bukan berkicau) untuk memikat betina.
    Suara nyanyian yang dihasilkan berasal dari selaput suara (syrinx) yang terletak pada bagian belakang tenggorokan yang berhubungan dengan paru-paru, yang tampak mengembung pada saat berbunyi.

 perkutut tangguh trah pajajaran berwarna semu kuning

Keunikan burung perkutut  adalah
1. Kotoran perkutut tidak bau, dan cepat kering
2. Ketika makan perkutut tidak rakus, sebagai gambaran makanan yang diisi dalam tempat pakan, tidak akan habis dalam waktu seminggu bahkan lebih
3. Bangkai perkutut tidak bau
4. Walaupun kepala perkutut luka parah sampai terlihat tulangnya perkutut tidak mati (patak warak)
5. Dalam satu ombyokan atau dalam jumlah banyak dalam satu kandang jarang ada yg bertengkar...esensi nya perkutut memiliki jiwa sosial yang tinggi
6. Mempunyai umur yang panjang, secara umum banyak sekali ditemukan umurnya sampai 40 tahun, bahkan ada juga sampai 100 tahun



Legenda Perkutut dan Para Raja


Berdasarkan fakta sulit dipungkiri bahwa perkutut telah  dijadikan klangenan raja raja terdahulu, bahkan pahlawan nasional Pangeran Diponegoro sangat menggemari burung ini. Banyak filosofi yang bisa kita pelajari dari perkutut, salah satunya ialah perkutut dalam satu ombyokan (sangkar yang berisi banyak perkutut) jarang sekali ada pertengkaran, artinya sebagai manusia kita juga harus saling menghargai terhadap sesama umat manusia, filosofi yang lainnya adalah perkutut makannya tidak rakus, sebagai gambaran dalam satu pakan, makanannya tidak akan habis dalam satu minggu, bahkan bisa lebih, perkutut dikenal hewan yang sangat tahan menahan haus, dan lapar, artinya manusia-pun harus bisa menjaga makannya tidak rakus, jangan karena punya uang banyak segala makanan dibeli, dan dimakan, yang berujung kepada banyaknya penyakit, sebagaian besar penyakit karena kesalahan manusia sendiri karena pola makan yang salah.

Ada cerita yang melegenda dalam masyarakat Jawa perihal burung perkutut. Burung ini menurut ceritanya, merupakan jelmaan seorang pangeran yang pada zaman Kerajaan Majapahit dikenal dengan legenda Joko Mangu. Bermula dari hal itu maka kemudian berkembang dalam tradisi masyarakat Jawa bahwa Burung Perkutut menjadi sakral keberadaannya. Bagi Priyayi Jawa, burung menjadi salah satu dari sapta brata yang harus dimiliki. Oleh karenanya masyarakat Jawa khususnya para laki-laki banyak yang memelihara burung atau kukilo khususnya burung perkutut.
Banyak pertimbangan mengapa masyarakat Jawa khususnya kaum lelakinya memelihara burung perkutut. Diantara berbagai pertimbangan tersebut yakni sekedar prestise hingga nguri-nguri ajaran adiluhung nenek moyang. Leluhur orang Jawa dulu sering memberi wejangan bahwa manuk (burung) terdiri dari unsur kata ma (manjing) dan nya (nyawa) yang artinya urip atau hidup. Wejangan itu kemudian diterjemahkan dengan “aja mung ngoceh, nanging manggungo utawa yen ngomong kudu sing mentes” artinya kalau berbicara harus yang berisi.
Selama ini terdapat dua macam kategori orang yang gemar akan burung perkutut, yakni karena anggung (suara) dan karena cirimati (ciri baku) atau katuranggan. Orang yang menyukai burung perkutut karena anggung atau suaranya kebanyakan akan diikutsertakan dalam lomba atau sekedar hanya untuk klangenan. Sementara yang suka burung perkutut karena cirimati atau katuranggan biasanya memiliki kepercayaan bahwa dengan memelihara burung perkutut akan bisa mendatangkan rezeki atau keberuntungan.
Konon kepercayaan masyarakat Jawa akan katuranggan, angsar atau tangguh burung perkutut dipengaruhi oleh legenda Joko Mangu. Diceritakan dalam legenda tersebut bahwa saat zaman Kerajaan Majapahit dulu ada burung perkutut yang merupakan jelmaan Pangeran dari Pajajaran yang bernama Joko Mangu. Burung tersebut lepas dari Pajajaran dan terbang ke arah timur hingga ke Majapahit. Selanjutnya Burung Perkutut dengan nama Joko Mangu itu lepas lagi dari Majapahit dan terbang ke arah pesisir. Artinya pulung atau keberuntungan Majapahit lepas dan akhirnya menuju ke arah pesisir hingga munculah Kerajaan Demak. Dari pesisir akhirnya Joko Mangu terbang lagi dan menuju ke selatan dan ditemukan oleh Ki Ageng Paker dari Ngayogyakarta.
Dalam memelihara burung perkutut yang perlu dipersiapkan adalah diri pribadi orang itu sendiri. Artinya, kepercayaan akan katuranggan, pulung atau angsar dan tangguh harus tetap ditempatkan pada posisi yang semestinya. Kepercayaan akan Tuhan menjadi mutlak, melebihi kepercayaan pada siapa dan apapun. Mengenai pulung atau wahyu, akan datang dengan sendirinya, jika seseorang itu telah benar-benar tertata. Dalam dunia pewayangan selalu pulung sing nggoleki uwong, dudu uwong sing nggoleki pulung atau isi sing nggolek wadhah, dudu wadhah sing nggoleki isi.
Perkutut Tangguh
1. Pajajaran meliputi Jawa Barat warna warna kekuningan dari bulu badan

2. Majapahit terutama Malang dan Jember warna dari bulu badan hijau bambu

3' Demak Jawa Tengah bagian Utara warna kaki kemerah merahan samapi genta dan kelopak mata
4. Pajang Jawa Tengah antara g Lawu sampai g Merapi warna kaki blawuk sampai genta dan kelopak mata
5. Mataram Jawa Tengah pesisir Selatan KLaten sampai Cilacap warna kakinya keputih putihansanpai ke genta, kelopak mata dan paruhnya yang pendek
6. Sedayu Jawa Timur bagian utara Tuban Bojonegoro bulu berwarna semu merah hati

7. Bali meliputi wilayah Bali warna warna alis  orange melingkar mata, lurik di bawah paruh, leher menyambung tidak putus



video perkutut putih dengan suara triple (ketk 3 kali)